SYEKH ABDUL KARIM
PEMIMPIN TAREKAT
Gerakan kebangkitan kembali
(revival) yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias Kiai Ageng memang
memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan.
Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya
terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus
kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar
dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula.
Senin, 13 Februari 1876. Haji
Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa meninggalkan Banten menuju
tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul pengangkatannya sebagai Pemimpin
Tarekat Qadiriah, menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya
10 anggota keluarga, enam orang pengawal, dan 30 atau 40 orang yang
menyertainya hanya sampai Batavia.
Khawatir akan kemungkinan
turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan, Residen Banten meminta Kiai
Abdul Karim mengubah rute perjalanannya. Rencananya singgah di beberapa tempat
di Tangerang dibatalkan; diputuskan ia akan menumpang kapal langsung ke
Batavia. Padahal banyak haji dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat
ke Karawaci. Selain itu, satu pertemuan besar akan digelar di rumah Raden
Kencana, janda Tumenggung Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir,
yang selain oleh anggota keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap
pemerintah kolonial sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh
murid dan para pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa
pantai, seperti Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk
menyatakan salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.
Tak syak lagi, Haji Abdul Karim
adalah salah satu ulama yang sangat dihormati dan paling berpengaruh di
Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari Kiai Agung. Bahkan
sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang telah dianugerahi
karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai petunjuk
kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda banjir air
Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen diganti
dan bupati dipensiun.
Besarnya pengaruh Kiai Abdul
Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan pernikahan putrinya. Seluruh desa
Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias dengan megah. Kiai-kiai terkemuka
– termasuk dari Batavia dan Priangan – datang di pesta yang antara
lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia dan berlangsung sepekan itu.
Sejak muda Abdul Karim berguru
kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir
semua cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan
bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul ‘Arifin
ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia Tenggara –
mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama terkemuka ini punya
banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriah menyebar di berbagai daerah di
Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten.
Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Haji Abdul
Karim. Boleh dikatakan, Abdul Karim adalah murid Syekh Sambas yang paling
terkemuka. Tak heran, jika dia mendapat kepercayaan gurunya untuk menyebarkan
ajaran Tarekat Qadiriah.
Tugas pertama yang diemban Haji
Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Setelah beberapa tahun,
ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan
pesantren, dan karena sudah amat terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak
memperoleh murid dan pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya.
Yang pasti, dialah yang paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala
itu.
Kurang lebih tiga tahun
Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan yang dimiliknya, ia
mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara itu, sambil menyebarkan
ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga berhasil meyakinkan banyak
pejabat pamong praja untuk mendukung dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati
Serang sendiri yang menjadi pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka
lainnya, seperti Haji R.A Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan
sahabat-sahabatnya, dan mereka amat terkesan dengan dakwahnya. Alhasil,
Kiai Abdul Karim sangat populer dan sangat dihormati oleh rakyat;
sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati
Serang dan Residen Banten. Dan tentu saja kunjungan kedua petinggi di
Banten itu membuat gengsinya semakin naik. Tidak berlebihan jika dikatakan,
Kiai Abdul Karim benar-benar orang yang paling dihormati di Banten.
Sebelum kedatangan Kiai Agung
dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai bekerja tanpa ikatan satu sama
lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya sendiri dengan caranya
sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah kedatangan Kiai Abdul
Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di kalangan rakyat, tapi
mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran tarekat ini diperkuat oleh
kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim yang paling setia, dari Makkah
Kiai Abdul Karim memang orang
kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya menjelajahi berbagai daerah di Banten.
Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak henti-henti berseru kepada rakyat supaya
memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat beribadah.Ia
menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus
dimurnikan. Abdul Karim memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali
kehidupan agama (revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana,
menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar
biasa, khotbah-khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar
terhadap penduduk.
Dalam waktu singkat, setelah
Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari satu tempat ketempat lain, daerah
Banten diwarnai kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Pengaruh
dari meluasnya kegiatan keagamaan ini adalah bangkitnya semangat di
kalangan umat dalam menentang penguasa asing. Kebetulan pada waktu itu sudah
berkembang rasa ketidakpuasaan rakyat kepada pemerintah kolonial akibat
tindakan politik dan ekonomi mereka yang merugikan rakyat. Dalam situasi
demikian, para ulama secara bertahap membangunkansemangat rakyat untuk melawan
pemerintah kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian
rupa sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap
Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum tiba
saatnya karena rakyat belum siap.
2.
Haji-haji Berjiwa Pemberontak
Seperti diungkapkan sejarawan
Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Kiai Abdul Karim
memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada
puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal.
Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama,
dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar
benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok
pula. Setelah Haji Abdul Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan
itu berpaling dari semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat
yang sangat anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah
ditumbuhsuburkan Kiai Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru
tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah
tujuan politik.
Syekh Abdul Karim disebut
sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting
dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888. Dua tokoh kunci
lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah,
sekali lagi ia berkeliling Banten. Di tempat-tempat yang dikunjunginya, ia
berseru kepada rakyat agar berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan
diri dari perbuatan mungkar. Ia memilih beberapa ulama terkemuka untuk
memperhatikan kesejahteraan tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong
praja terkemuka, dan berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para
ulama dalam membangun kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu minta
nasihat kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.
Menjelang keberangkatannya,
kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa dia tidak akan
kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih dalam genggaman kekuasaan asing.
Dia memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun
setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata
jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci.
Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam
pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi
dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari
Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai
pribadi-pribadi yang punya karisma.
Kepergian Abdul Karim ke
Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya
bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya.
Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk
berontak.
Snouck Hurgronje, yang
menghadiri pengajiannya di Makkah pada 1884-1885, menceritakan:
“Setiap malam beratus-ratus
orang yang mencari pahala berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar
zikir dari dia, untuk mencium tangannya, dan untuk menayakan apakah
saatnya sudah hampir tiba, dan berapa tahun lagi pemerintahan kafir masih
akan berkuasa.”
Tetapi Syekh Abdul Karim tidak
memberikan jawaban pasti. Dia selalu memberikan jawaban-jawaban yang samar
tentang soal-soal yang sangat penting seperti mengenai pemulihan kesultanan
atau saat dimulainya jihad. Dia hanya mengisyaratkan bahwa waktunya
belum tiba untuk melancarkan perang sabil.***
Dilema Guru, Dilema Murid
Pada 1883 murid Syekh Abdul
Karim, Kiai Haji Tubagus Ismail, kembali dari Makkah, mendirikan pesantren
dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di kampung halamannya, Gulacir.
Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali kesultanan Banten ini juga dianggap
sebagai wali – ia tidak mencukur rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam
setiap jamuan hampir tidak pernah makan apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu
Tubagus Urip, yang sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH
Tubagus Ismail sudah punya banyak pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui
di Banten. Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, ia pun segera
melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang
mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman
dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji
Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan, rapat
pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.
Pada Maret 1887 Haji Marjuki,
yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di Tanara. Murid kesayangan dan
wakil Haji Abdul Karim ini juga sahabat dekat Haji Tubagus Ismail. Menurut
dugaan para pendudukung pemberontakan, kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas
permintaan sahabatnya itu. Haji Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke
daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan
gagasan tentang jihad. Propagandanya cepat diterima umum, karena ia
bertindak atas nama Haji Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya
itu, masjid-masjid dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari
Jum’at meningkat tajam. Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu
oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiai di daerah Jawa
Barat. Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya merupakan jiwa gerakan
jihad di Banten. Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen,
menganggap bahwa Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas pemberontakan
itu.
Tetapi, menjelang pemberontakan
meletus, Haji Marjuki segera berangkat ke Makkah bersama istri dan
anaknya. Sebelum berangkat ia sempat memberkati pakaian putih yang akan
dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya di Tanara. Rupanya ia tidak
sependapat dengan kiai lainnya, khususnya Haji Wasid, yang akan memulai
pemberontakan pada bulan Juli. Kepada mereka ia menjelaskan bahwa pemberontakan
itu terlalu dini, dan ia meninggalkan Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan
jika pemberontakan itu berhasil, ia akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh
Nawawi untuk datang ke Banten dan ikut serta dalam perang sabil.
Di Makkah Haji Marjuki
melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar nahwu, sharaf, dan fikih. Muridnya
tergolong banyak. Ia juga tidak pernah menyembunyikan sikap politiknya. Ia
misalnya mengecam pemberontakan yang dipimpin Haji Wasid yang dinilainya
terlalu pagi dan menimbulkan korban yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil,
pemberontakan harus pecah di seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus
punya cukup uang dan senjata. Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan
yang sulit didamaikan dengan Haji Wasid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia
mengatakan bahwa tangan kananya yang berpuru tidak memungkinnya aktif
dalamperjuangan. Andaikan dia tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi dilema:
dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan menghadapi
risiko tindakan pembalasan Haji Wasid. Maka hanya satu alternatif – pergi ke
Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya masih ada di sana. Apakah
alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat untuk meninggalkan medan
pertempuran menjelang saat meletusnya pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa
pada saat-saat terakhir Haji Marjuki hanya mementingkan keselamatannya sendiri?
.
Kedudukan pribadi yang sulit
seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa tahun sebelumnya oleh guru Haji
Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya saja sang guru tampaknya lebih
“beruntung” karena keburu dipanggil untuk menggantikan kedudukan Syekh Sambas.
Bukankah Haji Abdul Karim dulu, ketika masih di Banten, berpendapat
bahwa rakyat sebenarnya belum siap untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan,
di tahun-tahun ketika murid-muridnya tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai
berjihad, dia tidak pernah memberikan kepastian waktu. Sementara
itu, sebagai kiai agung dan pengaruh, ia dituntut untuk merestui dan
secara tidak langsung memimpin pemberontakan. Jadi, apakah sang murid
kesayangan sebenarnya hanya mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul Karim?
Wallahu a’lam.
Yang pasti, setelah
pemberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus memburu orang-orang yang
terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam terlibat. Ada yang dihukum mati
dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon, diasingkan, dipenjara, dan, yang
laing ringan, dikenai hukuman kerja paksa. Beberapa pemimpin
pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya ada yang lari ke Makkah.
Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah tidak bisa menjangkau mereka.
Sementara itu, Kiai Abdul Karim dan Haji Marjuki terus dimata-matai.
Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim kita
temukan dalam pelbagai kumpulan tarekat. Organisasi-organisasi tarekat di
Tanah Air, terutama Jawa (di pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang,
Pagentongan, Bogor, Suralaya, Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan
Tebuireng, keduanya di Jombang), yang paling berpengruh dan memiliki puluhan
ribu pengikut, menyambungkan silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar