Sekilas Tentang Ahli
Ma’rifat dari Kitab Al Hikam
Sekilas Tentang Ahli Ma’rifat dari Kitab Al
Hikam
Published on December 28, 2010 in Artikel
Islam. 0 Comments
“Tidaklah disebut sebagai
orang ahli ma’rifat orang yang memberi petunjuk (isyarah sesuatu) yang menjadi
rahasia Allah yang haq, ia dapat menemukan dirinya lebih dekat kepada Allah
daripada isyarahnya sendiri. Akan tetapi yang disebut ahli makrifat ialah orang
yang tidak melihat dirinya mempunyai isyarah tertentu, karena kesirnaannya
(fana’) dalam wujudnya Allah dan terbalutnya kenyataan diri dalam menyaksikan
Allah.” (Al Hikam)
Dalam hikmah tersebut
diterangkan tentang bagian-bagian orang yang sudah termasuk pada maqom fana’,
yang karenanya tidak dijelaskan secara gamblang, tetapi hanya istilahnya saja
yang dijelaskan, karena hikmah ini berhubungan dengan rasa yang ada pada orang
yang ahli makrifat, yang pada umumnya kita sendiri belum pernah merasakannya,
maka untuk lebih memudahkan para murid tasawuf dibuat beberapa istilah yang
berkaitan dengan hal tersebut.
1. Isyarat
2. Ibaroh
3. maqom
fana’ atau jam’i
4. maqom
baqo’ atau farqi
1. Isyarat.
Pengertian
isyarat disini bukan seperti pengertian mengarahkan (menuding) jari telunjuk
kepada sesuatu, akan tetapi makna isyarah dalam hikmah ini berati, perkataan
atau ucapan yang tidak jelas (kinayah) tentang segala sesuatu yang hanya orang
tertentu yang bisa faham.
2. Ibaroh.
Ibaroh
berarti suatu perkataan atau ucapan yang jelas (gamblang) tentang sesuatu hal
yang semua orang bisa memahaminya.
Jadi
isyarat adalah merupakan suatu istilah yang digunakan ahli tasawuf untuk
menjelaskan tentang berapa hal, yang diantaranya :
a. Asror,
yaitu rahasia-rahasia Allah
b. Ilmu
Laduni, yaitu ilmu yang langsung dari Allah (tanpa belajar)
c. Mawajid,
yaitu rasa cinta dan rindu yang teramat sangat, yang terkadang sampai membuat
seseorang kehilangan akalnya dan bahkan sampai tidak sadarkan diri.
d. Dzauq,
yaitu rasa yang diterima oleh hati atau bathin. Seperti rasa tenteram karena
merasa nikmat (ladzat) dalam berdzikir, shalat, dan lain sebagainya.
Dzauq
terbagi menjadi dua
Dzauq
Bathinyyah, yaitu semua rasa yang dialami oleh hati atau bathin.
Dzauq Dhohiriyyah, yaitu semua rasa yang diterima oleh panca indera, seperti bau wangi, rasa sakit, pedas, asin, pahit, asam dan lain sebagainya.
Dzauq Dhohiriyyah, yaitu semua rasa yang diterima oleh panca indera, seperti bau wangi, rasa sakit, pedas, asin, pahit, asam dan lain sebagainya.
Asror,
ilmu laduni, mawajid dan dzauq adalah termasuk ‘aurat yang wajib untuk ditutupi
dan tidak boleh diperlihatkan kepada khalayak umum. Hal ini dapat disamakan
dengan ‘aurat dhohir dari tubuh manusia, semisal orang laki-laki, maka yang
wajib ditutupi adalah antara pusar dan lutut, ssedang bagi wanita adalah
seluruh anggota tubuh. Dan karena asror, ilmu laduni, mawajid, dan dzauq adalah
termasuk ‘aurat, maka untuk menjelasakan perkara ini, para ahli tasawuf
menggunakan isyarah (kinayah).
3. Al
Fana’ (jam’u)
Para arif billah pasti
melewati maqom jam’i. istilah lain dari maqomul jam’i adalah “wahdatul wujud”
(manunggaling kawulo gusti). Istilah ini bukan berarti bahwa wujudnya Allah itu
bersatu dengan wujudnya atau bercampur dengan wujudnya hamba, tetapi tiu
hanyalah merupakan sebuah kiyasan atau istilah dari para sufi, yang mana
timbulnya istilah itu setelah adanya pengalaman di dalam mengarungi samudera
tasawuf.
Arti
lain dari “manunggaling kawulo gusti” adalah , apabila ada seorang hamba
melihat hamba atu ciptaan Allah yang lain, maka yang ia lihat bukan wujud
ciptaan itu, tetapi yang terlihat adalah Allah. Bahkan ketika melihat dirinya
sendiri pun ia tidak melihatnya, dan yang terlihat hanya Allah. Semuanya telah
sirna, dan yang ada hanya Allah (dihati). Tidak wujud selain-Nya.
Pada
“menyaksikan” itu, segala persoalan hilang dari dirinya karena dalam ke-esaan
murni (al-fardaniyyat al-mahdhah). Dalam kondisi seperti itu ia terpesona
dengan keindahan penyaksian itu, sehingga hilanglah kesadaran diri dan tidak
lagi memiliki kemapuan untuk mengingat selain-Nya, bahkan tidak mampu untuk
melihat diri sendiri. Pada saat dalam kesaksian seperti inilah sebagian dari
para sufi seperti Al Hallaj dan Abu Yazid Al Busthami mengatakan, “anal haq”
(ukulah kebenaran), “subahaani maa a’dhomi sya’ni” (maha suci aku dan betapa
agung keberadaanku), “maa fil jubbati illa allahu” (tidak ada dalam jubahku ini
kecuali Allah).
Apabila
seseorang telah mengalami hal semacam ini, dan kemudian ia tidak mampu untuk
menahan diri dengan cara tidak mengatakan secara ‘ibaroh (jelas), maka hal itu
dianggap sebagai suatu pelanggaran. Hal ini juga pernah dialami Syaikh Lemah
Abang ketika dipanggil oleh Sunan Kudus, “wahai Syaikh Siti Jenar”, dan beliau
menjawab, “Syaikh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” ketika
mengucapkan Itu, Syaikh Siti Jenar merasakan bahwa wujudnya sudah tidak ada
lagi, yang ada hanyalah Allah semata. Dirinya sudah tidak nampak lagi, yang
nampak hanya Allah semata.
Orang
yang telah mencapai maqom fana’ atau jam’i, mereka menyadari bahwa semua yang
dilakukannya adalah tindakan Allah. Syaikh Yusuf Al A’jami, “ siapa yang
berkata pada maqom jam’i, maka yang berkata bukanlah dirinya, akan tetapi Allah
yang berkata melalui lisan hambaNya”. Dan hal itu juga sesuai dengan hadist
firman dalam hadits qudsi:
“fabii
yasma’u wabii yabshuru wabii yanthiqu……..” (maka dengan Aku (Allah) ia
mendengar, dan dengan Aku ia melihat, dan dengan aku pulalah ia berkata).
Setelah
kaum ‘arifin melakukan pendakian mi’raj spiritual ke alam hakikat, mereka
sepakat bahwa yang disaksikan oleh mereka hanyalah Allah Yang Haq. Tidak ada
wujud selainNya. Dan dalam kesaksiannya ini masing-masing kaum ‘arifin memiliki
memiliki dan cara kesaksian yang berbeda. Ada yang menyaksikan melalui
“makrifat” dan “ilmu”, dan ada yang yang menyaksikan “dzauq” dan “al-hal”.
Perumpamaan akan hal ini adalah seperti orang yang ingin mengetahui hakikat
dari api. Ada yang mengetahui panas api melalui serentetan panjang imu
pengetahuan dan perenungan, hingga meyakini bahwa itu panas, dan ada yang
memperoleh keyakinan bahwa api itu panas karena ia sendiri sudah merasakan
terbakar olehnya.
Saat
menyaksikan itulah segala persoalan (syak) menjadi hilang dari diri mereka,
karena tenggelam dalam keesaan murni (al-fardaniyat al-mahdhah). Mereka
terpesona dengan keindahan penyaksian itu, kehilangan kesadaran diri, sehingga
tidak memiliki kemampuan untuk mengingat selainNya. Hingga terlontar
ucapan-ucapan mutasyabihat.
Imam
Ghazali dalam kitabnya, “Misykat al Anwar”, memberikan komentar mengenai hal
itu, bahwa semestinya para perindu Allah itu “asyiqin” tidak mengungkapkannya
di saat kondisi ekstase “fana’”, karena kessaksian yang dialaminya bukanlah
kesatuan “ittihad” yang hakiki, melainkan hanya “ittihad” seperti yang
dinyanyikan oleh orang yang rindu berat,
“Akulah
yang mencintai dan yang aku cintai,
kami
ini ini dua ruh yang bersemayam dalam satu raga.”
Atau
ibarat orang yang melihat minuman anggur dalam gelas, dan mengira bahwa warna
anggur itu adalah hiasan dari gelas itu sendiri. Sebagaimana dalam untaian
syair:
“Gelas
bening dan anggurpun bening,
Keduanya
serupa dan menyatu.
Sekan
anggur tanpa gelas,
Dan
gelas pun tanpa anggur.”
Ungkapan
tersebut tentu berbeda, “bahwa anggur adalah gelas”, dan “anggur seakan-akan
gelas. “Bila kondisi ‘ittihad’ ini memuncak, maka disebut dengan “fana’ al
fana’” seseorang yang mengalami kefana’an, tidak saja saja merasakan kehilangan
dirinya, bahkan rasa kehilangan dirinya itu telah hilang dalam kesadarannya.
Tidak menyadari bahwa dirinya tenggelam dalam kefana’an, dan juga tidak
menyadari akan kefanaan dirinya. Sebab bila masih menyadari akan kefanaan
dirinya, berarti masih dalam kondisi sadar. Para ‘arifin yang tenggelam dalam
kefanaan ini dalam bahasa majaz disebut “ittihad”, dan dalam bahasa hakikat
disebut “tauhid.” (misykat al-anwar).
Orang
yang benar-benar mencapai maqom fana’ atau “wahdatul wujud”, akan merasakan
bahwa dirinya sudah tidak ada. Juga tidak mengetahui bahwa dirinya sudah sampai
maqom apa, maqom fana’kah? Atau maqom yang lainnya, seperti ‘Abid, Murid,
‘Arif. Dan juga ketika ketika menerima tajalliNya, apakah tajalli af’al,
tajalli sifat, tajalli dzat. Dalam perjalanan ibadahnya semisal, shalat, puasa,
dzikir, dan amal ibadah lainnya, tidak merasakan bahwa dirinya sudah
melakukannya, yang melakukan adalah hanya Allah. Hal ini sebagaimana makna yang
tersirat dalam kalimat “laa haula walaa quwwata illa billah.” Seperti mayit
yang berada di tangan orang yang memandikannya.
Dan bahwa apa yang disebut sebagai kehilangan dirinya dalam Tuhan (fana’), yang dipandang sebagai tujuan para sufi, sesungguhnya adalah merupakan tahap awal dari perjalanan yang sesungguhnya. (Al-Ghazali)
Dan bahwa apa yang disebut sebagai kehilangan dirinya dalam Tuhan (fana’), yang dipandang sebagai tujuan para sufi, sesungguhnya adalah merupakan tahap awal dari perjalanan yang sesungguhnya. (Al-Ghazali)
4. Al
Baqo’ (farqi).
Setelah melewati maqom
jam’i atau maqom fana’ seseorang akan memasuki maqom farqi atau disebut juga
maqom baqo’. Orang yang sudah mencapai maqom ini akan kembali normal. Apabila
ia melihat Allah maka ia juga dapat melihat mahluk begitu juga sebaliknya,
ketika ia melihat mahluk maka ia juga dapat menyaksikan “musyaahadah” Allah
didalam hatinya.
Dalam
maqom inilah orang-orang melihat Allah dengan mata hatinya “arbab al-bashaa’ir”
ketika melihat sesuatu mereka menyaksikan Allah bersamanya. Sebagaimana yang
telah dikatakan para ‘arifin, “tidak ada sesuatupun yang aku lihat, kecuali
sebelumnya aku telah melihat Allah sebelumnya”, sebagaimana yang diisyaratkan
dalam firmanNya:
سَنُرِيهِمۡ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلۡأَفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ
“Kami
akan memperlihatkan kapada mereka di ufuk-ufuk dan didalam jiwa mereka sendiri
bahwa Allah itu haq.” {Q.S. Al-Fushilat : 53}
Lebih
jelasnya untuk lebih mudah dimengerti, seperti kisah yang tersirat dalam hadits
ifqi (para pembuat berita dusta) panjang yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a.
ketika beliau beliau tertinggal oleh rombongannya, hingga kemudian ditemukan
oleh Sofwan bin Mu’athol yang sedang mencari sesuatu miliknya yang hilang,
dalam keadaan sedang tertidur. Ketika Sofwan mengetahui bahwa orang yang
tertidur itu adalah wanita istri Rosulullah saw. Ia menjadi kaget dan mengucap
istirja’ (Inna Lillahi Wa inna ilahi roji’un). ‘Aisyah ra seketika terbangun
ketika melihat lelaki itu dan segera menutupi wajahnya dengan cadarnya.
Kemudian Sofwan merundukkan ontanya dan menyuruh ‘Aisyah ra. Menaikinya tanpa
berkata sepatah katapun, hanya dengan isyarat. Setelah Sofwan melanjutkan
perjalanannya dengan menuntun ontanya yang kini telah dinaiki ‘Aisyah ra.
Hingga akhirnya dapat menyusul rombongan bala tentaranya.
Sejak
saat itu kemudian tersebar berita dusta (gosip) yang dihembuskan oleh ahli
fitnah, yang mula-mula dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Sawul, yang
menuduh bahwa ‘Aisyah telah berbuat tidak terpuji. Hingga sesampainya tiba di
Madinah, beliau jatuh sakit selama sebulan. Keadaannya menjadi makin tertekan
ketika menyadari ada sedikit perubahan sikap Rosulullah, yang pada waktu itu
juga sedang gelisah menunggu datangnya wahyu dari Allah yang berkaitan dengan
masalah itu. Cerita tidak kami tulis secara detail disini. Singkat cerita,
‘Aisyah ra. Meminta kepada orang tuanya seraya berkata, “jawablah Rosulullah
oleh kalian berdua!.” Akan tetapi kedua orang tuanya menjawab, “Demi Allah,
kami tidak mengetahui apa yang akan kami katakan.” Mendengar itu, ‘Aisyah ra.
Berkata, “Sesungguhnya aku, Demi Allah telah mengetahui bahwa engkau telah
mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh olehnya dan mau
mempercayainya. Seandainya saja aku katakan kepadamu bahwa aku tidak bersalah,
sehingga engkau terpengaruh dan mau mempercayaiku. Dan seandainya aku mengaku
padamu, bahwa aku telah melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui
bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau (Nabi) percaya kepadaku. Demi Allah
aku tidak menemukan suatu perumpamaan yang kukatakan kepada engkau kecuali
sebagaimana ayah Yusuf ketika mengatakan:
فَصَبۡرٌ۬ جَمِيلٌ۬ۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
“maka
kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon
pertolonganNya terhadap apa yang kalian ceritakan” (Q.S. Yusuf 18)
Kemudian
‘Aisyah ra. Beranjak dari tempatnya dan langsung merebahkan diri di
peraduannya. Sejak saat itu Rosulullah tidak lagi menetapi majlisnya hingga
turun kepada beliau firman Allah Q.S An-Nur : 11-21, yang menyatakan kesucian
‘Aisyah ra. Wahyu itu membuat Rosulullah sangat senang. Dengan muka berseri-seri
beliau sehera menyampaikan kabar gembira itu kepada ‘Aisyah ra. Maka ‘Aisyah
ra. segera ditegur ibunya, “berdirilah, dan berterimakasihlah kepada
Rosulullah.” Dan ‘Aisyah ra. berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan
berterima kasih kepada selain Allah yang telah menurunkan wahyu tentang
kebersihanku.” (ketika mengucap ini, ‘Aisyah ra. dalam kondisi fana’)
Kemudian Abu Bakar ra. menyuruh ‘Aisyah ra. untuk bersyukur kepada
Rosulullah, karen dengan lantaran beliaulah wahyu itu diturunkan dan ditujukan
kepada ‘Aisyah ra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar